Kamis, 29 Januari 2009

"Cyber" di Pentas Teater Padang

KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY / Kompas Images
Wendy HS dan Dede Prama Yoza, teaterawan dari Padang, dalam pertunjukan berjudul Tambologi 1: Retroaksi, Rabu (30/4). Pertunjukan itu berkisah tentang kehidupan masyarakat tradisional di tengah teknologi maju yang berkembang pesat dan menjangkau hingga ke desa-desa.

Kamis, 8 Mei 2008 | 00:12 WIB
Kesabaran tidak lagi harus menunggu bagiku kini. Sebab, sedari tadi setiao orang sudah berbondong-bondong terbang mengitari langit. Berpindah-pindah benua dalam 1,375 detik bersama siaran berita-berita, infotainment, reality show, variety show, film, atau iklan-iklan dalam daftar chanel-chanel televisi kabel langganannya. Sementara aku belum juga punya kartu identitas sebagai sebuah persyaratan mengajukan kredit untuk sekadar memiliki seperangkat peralatan digital antena parabola. Sungguh....Sungguh, aku sangat ingin terbang ke alamatmu. Satu titik di mana kau pertama kali menginjakkan khaki di tanah ini”.

Teaterwan Wendy HS dan Dede Prama Yoza mencoba menghadirkan refleksi dunia cyber dalam pentas teater bertajuk Tambologi 1: Retroaksi, Rabu (30/4) di Taman Budaya Sumatera Barat.

Inilah pentas yang berasal dari ide masa kini yang masih digarap secara konvensional.

Pentas teater sekitar 60 menit itu mencoba menghadirkan kegamangan masyarakat tradisional dalam sebuah dunia cyber yang serba cepat.

Masyarakat yang masih berpijak pada nilai-nilai tradisional berhadapan dengan sebuah dunia yang ditopang teknologi canggih dan menembus batas- batas wilayah dan waktu.

Wendy dan Dede—kreator sekaligus pemain—mencoba memotret kegamangan-kegamangan itu dengan memilih aneka simbolisasi.

Dari pemilihan kostum, mereka memadupadankan dua dunia yang masih hidup saat ini. Baju yang mereka gunakan adalah baju merah-kuning yang mempunyai motif khas Minangkabau.

Kain sarung menjadi penutup bagian bawah, kendati sarung ini hanya dipasang tiga perempat.

Keduanya memilih alas kaki berupa sepatu boot hitam yang bertali hingga bagian atas. Sepatu ini dipadukan dengan kaus kaki yang hampir menyentuh lutut.

Tidak mewah

Properti pentas juga tidak mewah. Mereka memakai tangkai besi yang mempunyai ujung bulat seperti roda. Sepuluh tisu gulung direntangkan memanjang di bagian tengah-belakang pentas.

Suara yang telah modifikasi—sehingga sebagian penonton menyebut suara itu sebagai suara horor—menjadi pengiring pertunjukan teater.

Suara itu seperti suara-suara yang kerap dipakai untuk menunjukkan nuansa dunia cyber.

Wendy dan Dede juga menampilkan teater mini kata yang sebagian besar kalimat yang disampaikan seperti sebuah prolog panjang yang dibawakan dengan nada datar. Pada kesempatan lain, mereka mengulang-ulang kata.

Dari sisi gerak, tidak ada yang istimewa dari pertunjukan ini. Mereka tetap memakai gerak- gerak seperti pertunjukan teater pada umumnya, yakni gerakan mundur, langkah tegap seperti berbaris, atau gerakan lain yang ingin menyerupai gerakan pencak silat.

Wacana

Pementasan teater kedua kerja sama STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat ini menawarkan sebuah wacana tentang dunia saat ini dengan berbagai teknologi modern yang tidak bisa ditolak kendati masyarakat belum lagi siap menerimanya.

Dalam diskusi setelah pentas, kedua kreator menyebutkan bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Minangkabau yang sudah kehilangan sebagian identitas diri mereka.

Kehidupan modern yang masuk lewat media televisi, internet, maupun dalam pergaulan sehari-hari lebih mendekatkan masyarakat pada dunia di luar kehidupan sehari-hari yang dekat dengan mereka.

”Kami mencoba membawakan pencak silat dalam pertunjukan ini. Namun, memang masih jauh dari kesempurnaan gerak pencak silat. Ini juga menjadi contoh masyarakat saat ini yang semakin jauh dari akar budaya kami,” kata Wendy.

Daerah terasing

Kedua pemain memang hendak menunjukkan diri mereka sebagai representasi putra daerah yang terasing dari budaya daerah mereka.

Sayangnya, teater kali ini belum banyak mengeksplorasi gerak atau properti sebagai kesatuan pementasan yang bisa menunjukkan sebuah budaya yang melampaui tradisi yang ada saat ini.

Kedua pemain seakan masih terikat pada tradisi gerak dan pementasan pada umumnya sehingga terkesan sangat monoton. (ART)

2 komentar:

M.Noerdianza mengatakan...

halow mas Whendi "malin"...
saya mau tanya? "Cyber teater" itu seperti apa sich? terus bagaimana caranya ya.... kayaknya seru juga dech. saya jadi pingin ikutan gabung. ajarin dung... balas yach. salam dech dari kita. By teman lama.

M.Noerdianza mengatakan...

halo. saya sangat tertarik lhow mas Wendi, tapi saya masih bingung bagaimana caranya ikuta dalam "Cyber teater". bagaimana dan seperti apa cih. by: teman lama.